Tiga Pabrik Besar Tutup di Era Presiden Prabowo, Belasan Ribu Orang Kehilangan Pekerjaan

Sedikitnya tiga pabrik besar menyatakan tutup di awal era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Belasan ribu orang dipastikan kehilangan pekerjaan.

Maret 1, 2025 - 02:42 Wita
Maret 1, 2025 - 03:05
Tiga Pabrik Besar Tutup di Era Presiden Prabowo, Belasan Ribu Orang Kehilangan Pekerjaan
Pekerja di pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Sukoharjo, Jawa Tengah, mendengarkan pidato terakhir dari direksi perusahaan, Jumat (28/02/2025). Foto: Antara

KABARKALSEL.COM, JAKARTA - Sedikitnya tiga pabrik besar menyatakan tutup di awal era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Belasan ribu orang dipastikan kehilangan pekerjaan.

Terbaru raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Perusahaan tekstil yang telah beroperasi selama 36 tahun ini harus menutup operasional pabrik per 1 Maret 2025. 

Kondisi keuangan hingga tumpukan utang yang nyaris Rp30 triliun menjadi pemicu. Utang ini terdiri dari jangka panjang, jangka pendek dan sebagian besar berasal dari utang bank dan obligasi.

Pembengkakan utang juga terimbas dari penurunan penjualan di industri tekstil akibat kondisi geopolitik perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina.

Juga terjadi penurunan ekspor karena pergeseran prioritas oleh masyarakat di Eropa maupun Amerika Serikat.

Produk tekstil yang membanjir di China juga menjadi pemicu, karena menyebabkan dumping harga. Akibatnya produk-produk berharga lebih murah dengan cepat menyebar ke negara-negara yang tak memiliki aturan impor ketat seperti Indonesia.

Dikutip dari Suara, Sabtu (01/03/2025), kondisi tersebut membuat hampir 11.000 ribu buruh Sritex harus menghadapi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Jumlah karyawan Sritex yang terkena PHK sebanyak 10.665 orang," papar Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo, Sumarno, Jumat (28/02/2025).

"Urusan pesangon menjadi tanggung jawab kurator. Sedangkan jaminan hari tua menjadi kewenangan BPJS Ketenagakerjaan,” sambungnya.

PHK di Sritex dimulai sejak Januari 2025 yang menimpa 1.065 orang pekerja PT Bitratex Semarang. Kemudian PHK merembet PT Sritex Sukoharjo dan memmbuat 8.504 orang kehilangan pekerjaan. 

Selanjutnya PT Primayuda Boyolali memberhentikan sebanyak 956 orang, PT Sinar Panja Jaya Semarang sebanyak 40 orang dan PT Bitratex Semarang sebanyak 104 orang. 

Padahal sebelumnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif, setelah Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.

"Akan diambil langkah-langkah agar operasional perusahaan tetap berjalan dan pekerja bisa diselamatkan dari PHK," cetus Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, dalam keterangan resmi, Jumat (25/10/2024) lalu.

Tidak hanya Sritex, PT Sanken Indonesia juga memilih ikutan menutup semua lini produksi di kawasan industri MM 2100 Bekasi, Jawa Barat, per Juni 2025. Akibatnya 459 buruh Sanken terkena PHK. 

Kerugian yang terus menerus sejak 2019 menjadi pemicu utama. Meski akan ditutup, Sanken telah menyelesaikan masalah kepegawaian sesuai regulasi yang berlaku kepada para buruh terdampak. 

Nasib yang sama juga dialami PT Yamaha Music Product Asia. Mereka harus menutup dua pabrik mulai Maret dan Desember 2025, karena kondisi yang tak menguntungkan. Kondisi ini membuat 1.100 buruh terancam PHK.

Selanjutnya PT Yamaha Music Product Asiaakan memindahkan basis produksi kedua pabrik ini ke China dan Jepang. 

Sementara perusahaan smelter nikel di Sulawesi Tengah, PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI),  juga dilaporkan mengalami penurunan produksi yang signifikan dan berpotensi mengalami kebangkrutan. 

Ancaman itu terlihat dari keputusan perusahaan yang memangkas produksi nikel secara signifikan. Kondisi ini membuat sejumlah alat berat perusahaan terpakir secara rapi.

PT GNI juga telah menunda pembayaran kepada pemasok nikel lokal, sehingga kesulitan memperoleh bijih nikel.

Kondisi itu telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir, setelah Jiangsu Delong Nickel Industry Co selaku perusahaan induk mengalami masalah.

Selain masalah keuangan perusahaan induk, penurunan harga nikel global sejak akhir 2022 juga memperburuk kondisi PT GNI. 

Penurunan harga tersebut menyebabkan produksi bijih nikel di Indonesia diperketat selama hampir setahun terakhir.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow