Walhi Kalsel Adukan Perusahaan di Banjar, Batola dan Kotabaru ke Kejagung
Sedikitnya 4 perusahaan yang beroperasi di Banjar, Barito Kuala (Batola) dan Kotabaru diadukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan ke Kejaksaan Agung (Kejagung).

KABARKALSEL.COM, BANJARMASIN - Sedikitnya 4 perusahaan yang beroperasi di Banjar, Barito Kuala (Batola) dan Kotabaru diadukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pengaduan tersebut didasari dugaan korupsi Sumber Daya Alam (SDA) yang dilakukan keempat perusahaan.
Adapun pengaduan dilakukan serentak oleh 16 Eksekutif Daerah Walhi dan Eksekutif Nasional Walhi ke Kejagung, Jumat (07/03/2025) lalu.
"Total 47 korporasi yang dilaporkan ke Kejagung, 4 di antaranya beroperasi di Kalsel," papar Direktur Walhi Kalsel, Raden Rafiq, dikutip dari Antara, Senin (10/03/2025).
"Sedangkan total dugaan korupsi SDA yang dilakukan puluhan perusahaan itu mencapai Rp437 triliun," sambungnya.
Beberapa modus operandi dugaan korupsi dan gratifikasi antara lain mengubah status kawasan hutan melalui revisi tata ruang ataupun Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja.
Juga gratifikasi dengan pembiaran aktivitas tanpa izin, dan pemberian izin meski tidak sesuai dengan tata ruang.
Bukan hanya diduga melakukan korupsi SDA, perusahaan-perusahaan tersebut juga dinilai menuai banyak konflik agraria dan persoalan lain di tengah masyarakat.
Adapun 4 perusahaan yang ikut dilaporkan Walhi Kalsel merupakan perusahaan berbasis industri ekstraktif seperti tambang batubara dan perkebunan sawit skala besar.
Mereka adalah PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), PT Palmina Utama, PT Putra Bangun Bersama (Julong Group), dan PT Merge Mining Industri (MMI).
Diketahui PT MSAM merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kotabaru. Sementara PT MMI berkedudukan di Banjar dengan objek usaha pertambangan batu bara.
Sedangkan PT Palmina Utama dan Putra Bangun Bersama memiliki kawasan perkebunan sawit di Batola dan Banjar.
"4 perusahaan itu hanya sebagian kecil dari sekian banyak perusahaan yang telah melakukan pelanggaran serius terhadap lingkungan hidup, hak masyarakat adat dan petani lokal," beber Raden.
Sementara Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, membenarkan pelaporan Walhi terhadap 47 korporasi.
"Terhadap laporan atau pengaduan tersebut, tentu akan ditelaah atau dikaji terlebih dahulu," sahut Harli dikutip dari Tempo.
"Walhi menyerahkan laporan itu melalui Pusat Penerangan Hukum Kejagung. Selanjutnya kami akan meneruskan pengaduan ke pimpinan bidang terkait," imbuhnya.
Proyek industri ekstraktif di Kalsel sendiri telah banyak mengubah bentang alam, hingga menyebabkan bencana ekologis seperti kerusakan sungai besar dan kecil, longsor, tanah bergerak, serta banjir.
"Itu merupakan bagian dari dampak buruk industri ekstraktif yang mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, tetapi sedikit upaya pemulihan," tegas Raden.
Kemudian deforestasi juga masih masif terjadi untuk melanggengkan industri ekstraktif melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pertambangan batubara, termasuk aktivitas ekspansi sawit di kawasan hutan dengan atau tanpa izin.
"Praktik buruk tata kelola sumber daya alam tersebut beriringan dengan pola intimidasi, kriminalisasi, hingga kekerasan serius yang kerap terjadi di wilayah perusahaan yang berpotensi tinggi konflik," cetus Raden.
Melalui pengaduan ke Kejagung, Walhi menyatakan sikap dan mendesak agar pemerintah untuk mengusut tuntas dan menegakkan hukum terhadap perusahaan-perusahaan perusak lingkungan.
Kemudian mencabut izin perusahaan yang terbukti melanggar regulasi lingkungan dan hak masyarakat adat.
Juga meninjau ulang dan mengaudit seluruh perizinan industri ekstraktif, tambang, sawit, HTI, dan HPH secara transparan dan dibagikan kepada publik, serta menyetop pemberian izin baru.
Walhi juga mendorong pembentukan badan/lembaga/komisi khusus kejahatan lingkungan, agraria dan SDA, lalu membentuk pengadilan khusus kejahatan lingkungan.
"Kami meminta pemerintah segera mewujudkan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkeadilan. Juga mengakui wilayah kelola rakyat dan menjalankan ekonomi nusantara yang berkeadilan dan ramah lingkungan," tutup Raden.
What's Your Reaction?






