MK Ubah Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah, Parpol Dapat Usung Calon Tanpa Kursi di DPRD
Peta perpolitikan menjelang Pilkada Serentak 2024 dipastikan berubah, setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/8).
KABARKALSEL.COM, JAKARTA - Peta perpolitikan menjelang Pilkada Serentak 2024 dipastikan berubah, setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/8).
Dalam sidang putusan atas gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora, MK memutuskan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu 2024 bisa mengajukan calon kepala daerah, meski tidak punya kursi DPRD.
Dilansir dari laman resmi MK, dijelaskan bahwa majelis hakim menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada inkonstitusional.
Adapun Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada berisi sebagai berikut:
Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD.
Selanjutnya atas berbagai pertimbangan, MK mengubah isi Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada berdasarkan komposisi jumlah daftar pemilih tetap.
Berikut amar putusan MK yang mengubah isi Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada:
Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di provinsi tersebut
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat di daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di provinsi tersebut
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di provinsi tersebut
Baca juga: Menakar Kemenangan Lisa Halaby-Wartono Melawan Kotak Kosong di Pilkada Banjarbaru
Baca juga: Serius Galang Koalisi, Rahmadian Noor Mendaftar ke PKS Batola
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:
a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di kabupaten/kota tersebut
b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu sampai 500 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di kabupaten/kota tersebut
c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap lebih dari 500 ribu sampai 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di kabupaten/kota tersebut
d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap lebih dari 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di kabupaten/kota tersebut.
Terhadap putusan a quo, terdapat alasan berbeda dari hakim konstitusi Daniel Yusmic Foekh yang mengajukan alasan berbeda (concurring opinion). Sedangkan hakim konstitusi M Guntur Hamzah menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
"Pokok concurring opinion adalah seharusnya mahkamah memutus perkara a quo dengan konstitusional bersyarat," papar Ketua MK, Suhartoyo, ketika membacakan amar putusan.
"Sementara dissenting opinion menyatakan mahkamah seharusnya menolak permohonan para pemohon, karena norma yang dilakukan pengujian telah konstitusional," imbuhnya.
Sebelumnya para pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada telah menimbulkan perlakuan yang berbeda terhadap partai politik tanpa kursi di DPRD atau bertentangan dengan electoral justice.
Padahal parpol tersebut telah memperoleh suara sah dalam pemilu, baik DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.
Di sisi lain, perolehan jumlah kursi di DPRD disebabkan mekanisme/metode tertentu untuk menghitung konversi perolehan suara. Hal ini diyakini tidak selalu mutlak berhubungan dengan legitimasi suara rakyat.
Sementara dalam kesempatan terpisah, Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan putusan MK soal syarat pencalonan kepala daerah berlaku di Pilkada 2024.
"Putusan berlaku sekarang. Kalau tidak diterapkan di Pilkada 2024, bisa menimbulkan persoalan hukum kedepan," papar Khoirunnisa dikutip dari CNN.
Selanjutnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta segera merespons dengan mengubah atau menyesuaikan PKPU, karena putusan MK tidak menyebutkan penundaan waktu keberlakuan.
"Kalau menunda keberlakukan, MK akan menyatakan secara eksplisit dalam amar putusan. Contohnya ambang batas parlemen yang disebut MK akan berlaku di Pemilu 2029," tambah Titi Anggraini, Anggota Dewan Pembina Perludem.
What's Your Reaction?